Jalan terjal raih surplus dagang tahun 2019
Ekonom mengatakan mustahil Indonesia bisa mencatatkan surplus dalam neraca perdagangan pada tahun 2019
Jakarta Raya
Iqbal Musyaffa
JAKARTA
Indonesia mencatatkan defisit neraca perdagangan terbesar selama sejarah republik ini pada 2018 dengan jumlah USD8,57 miliar.
Buruknya kinerja perdagangan ini menjadi sorotan banyak pihak karena mengakibatkan defisit transaksi berjalan melebar.
Kondisi ekonomi global yang tidak menentu menjadi sasaran empuk alasan dari buruknya kinerja dagang itu.
Bank Indonesia (BI) menyatakan melandainya ekonomi dunia dan turunnya harga komoditas menjadi penyebab utama lemahnya kinerja ekspor Indonesia.
Sementara BI mengatakan tingginya impor akibat dari permintaan domestik yang masih kuat sejalan dengan kegiatan ekonomi yang produktif seperti investasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total ekspor Indonesia sepanjang 2018 sebesar USD180,06 miliar. Kinerja ekspor tersebut tumbuh 6,55 persen dari tahun 2017.
Meski begitu, jumlah ekspor masih belum bisa mengimbangi kinerja impor yang mencapai USD188,63 miliar atau melesat 20,15 persen dari 2017.
Untuk meningkatkan kinerja perdagangan khususnya ekspor, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memperluas akses pasar baru melalui perjanjian internasional dengan negara-negara mitra non-tradisional yang selama ini belum tergarap maksimal.
Pada kesempatan berbeda, Gubernur BIPerry Warjiyo mengatakan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan OJK untuk bisa mendorong ekespor dan pariwisata sehingga defisit transaksi berjalan bisa lebih baik pada 2019.
Perry menambahkan koordinasi yang dilakukan salah satu contohnya melalui pembinaan UMKM yang akan didorong untuk mengekspor produknya, seperti kopi.
“Kopi kita bedah masalahnya apa sampai me-matching-kan pembelian di luar negeri,” ujar Perry di Jakarta, Jumat.
Dia menambahkan pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan deregulasi kemudahan perizinan dan tax holiday sehingga bisa mendorong ekspor seperti pada sektor otomotif.
Gubernur BI juga sepakat bahwa B20 dapat membantu mengurangi impor minyak dan dapat menjadi sinergi yang baik untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan.
Terkait program B20, Menteri Koordinator Perekonomian mengatakan program biodiesel dengan menggunakan 20 persen campuran minyak kelapa sawit atau B20 dapat membantu penurunan impor migas.
Untuk tahun ini, Menko Darmin menargetkan target penyaluran Fatty Acid Methyl Esters (FAME) untuk program B20 dapat mencapai 6,2 juta kiloliter.
“Dengan konfigurasi baru, diharapkan realisasinya dapat mencapai di atas 93 persen,” ungkap dia di Jakarta, Jumat.
Sebagai informasi, FAME merupakan minyak nabati atau lemak hewan yang telah melalui proses esterifikasi atau transesterifikasi. FAME juga bisa dicampur dengan solar pada tingkat tertentu.
Program B20 ini mengombinasikan 80 persen Solar dan minyak sawit 20 persen.
Menko Darmin mengatakan kebijakan pemerintah terkait program biodiesel B20 pada 2018 sudah cukup berhasil untuk meningkatkan penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar yang tergambar dari realisasi kumulatif penyaluran FAME.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), penyaluran FAME sepanjang 2018 mencapai 3.478.825 kiloliter atau 86 persen dari target penyaluran 4.041.358.
Rincian realisasinya berdasarkan data ESDM adalah 2.720.753 KL untuk Public Service Obligation (PSO) atau 94 persen dari total alokasi pada periode Januari-Desember, dan Non-PSO sebanyak 758.072 KL atau 66 persen dari total alokasi pada periode September-Desember.
“Pemerintah mengapresiasi kemajuan kinerja ini,” ungkap Menko Darmin.
Pernyataan pemerintah tentang keberhasilan program B20 sejalan dengan data BPS yang menyebut impor minyak dan gas pada Desember lalu sudah turun 31,45 persen dari November dengan jumlah USD1,97 miliar.
Jumlah impor migas pada Desember berdasarkan data tersebut juga sudah turun 23,33 persen dari Desember 2017.
Namun, secara keseluruhan impor yang berasal dari migas masih tinggi yakni USD5,49 miliar sepanjang 2018 atau tumbuh 22,59 persen dari 2017.
Program B20 saja tidak cukup
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan implementasi program B20 saja tidak cukup untuk dapat memperbaiki kinerja perdagangan.
Bhima menambahkan program B20 yang sedang digencarkan pemerintah hanya mampu membantu pengurangan defisit pada impor solar.
Agar program B20 dapat semakin efektif dengan memperbanyak produsen FAME untuk menjaga jumlah pasokan.
“Insentif harus menarik dan investasi asing dapat ditarik untuk masuk ke sektor pengolahan FAME,” ujar Bhima kepada Anadolu Agency, Jumat.
Kemudian Bhima menambahkan dari sisi permintaan, pemerintah bisa mendorong Independent Power Producer (IPP) atau rekanan PLN untuk mulai memakai campuran biosolar untuk PLTD.
“Teknologi sudah ada, tinggal didorong implementasinya,” tambah dia.
Bhima juga mengungkapkan pengguna non-PSO lain perlu bekerja sama dengan produsen FAME sehingga campuran B20 bisa dipakai pada seluruh alat berat dan kendaraan tambang.
Dia menambahkan perlu ada mandatori yang bisa dimasukkan ke dalam persyaratan bea masuk khususnya untuk alat berat impor wajib menggunakan B20 sehingga bisa mendapatkan potongan bea masuk.
“Model insentif dari hulu ke hilir harus dievaluasi” tegas Bhima.
Meskipun B20 nanti bisa berjalan lebih baik, Bhima menyebut mustahil Indonesia bisa mencatatkan surplus dalam neraca perdagangan pada tahun 2019.
“Paling memungkinkan adalah menekan defisit dagang ke angka USD7 miliar,” ungkap Bhima.
Untuk memperbaiki kinerja perdagangan, Bhima menyarankan pemerintah untuk bisa meningkatkan lifting minyak dan gas dengan menciptakan iklim investasi migas yang berkualitas khususnya pada bidang eksplotasi.
“Lifting yang terus turun harus bisa diantisipasi,” tekan dia.
Bhima menambahkan pemerintah juga harus bisa segera menunda proyek infrastruktur yang berkontribusi pada tingginya impor bahan baku dan barang modal.
“Dari sisi ekspor kuncinya adalah hilirisasi industri dan perluasan pasar ke negara non-tradisional,” tambah Bhima.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). . Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.